Jumat, 29 Maret 2019

Sejarah Public Speaking


PENGERTIAN PUBLIC SPEAKING          

Sejak kecil, manusia selalu berbicara. Berbicara merupakan salah satu bakat alami anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diturunkan langsung kepada manusia. Bakat ini adalah satu alat yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam kegiatan komunikasi, manusia tentu akan menyampaikan pesan dengan tujuan yang berbeda-beda. Orang tua berbicara dengan anaknya untuk menyampaikan pesan-pesan penting yang dapat membangun kepribadian anaknya. Seorang manajer berbicara kepada bawahannya untuk melakukan pekerjaan yang menguntungkan bagi perusahaan. Contoh-contoh tersebut merupakan kegiatan berbicara yang dilakukan satu orang ke satu orang yang lain. Namun, apa istilah yang digunakan jika seseorang berbicara kepada khalayak ramai?
Public speaking adalah kemampuan berbicara kepada banyak orang. Kemampuan ini meliputi pesan yang disampaikan, cara menyampaikannya, dan kata-kata yang meyakinkan. Pentingnya public speaking dalam kehidupan dapat dilihat oleh tindakan-tindakan masyarakat dan pola pikir masyarakat yang dapat berubah hanya dengan pesan yang disampaikan dengan sangat baik. Menurut Webster’s Third International Dictionary, public speaking merupakan Sebuah proses penyampaian pidato di hadapan publik. Public Speaking adalah Sebuah seni dari ilmu komunikasi lisan yang secara efektif yang melibatkan para audiens atau pendengar.
Sedangkan menurut Wiliam Noorwood Brigance, public speaking adalah sebuah persuasi yang mencakup empat unsur; rebut perhatian pendengar, usahakan pendengar dapat mempercayai kemampuan dan karakter yang dimiliki dan kembangkan setiap gagasan materi sesuai dengan persepsi pendengar.
Lain halnya pernyataan yang diberikan oleh Ys. Gunadi dalam Himpunan Istilah Komunikasi. Menurutnya, public speaking adalah bentuk komunikasi yang dilakukan secara lisan tentang suatu hal atau topik di hadapan banyak orang. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi, mengubah opini, mengajar, mendidik, memberikan penjelasan serta memberikan informasi kepada masyarakat tertentu pada suatu tempat tertentu.
Dalam melakukan public speaking, seseorang perlu memiliki rasa percaya diri. Walaupun tidak mudah dalam membangun rasa percaya diri tersebut, namun hal ini dapat dilatih dengan cara melakukannya dengan intensitas yang sangat sering.
            Pentingnya public speaking tidak baru sekarang terbukti, tetapi sudah teruji sejak zaman dahulu. Contohnya pada zaman Yunani dan Romawi kuno, keterampilan ini sudah digunakan untuk kepentingan demokrasi. Keterampilan public speaking diajarkan di banyak sekolah dan institusi pendidikan karena hal ini sangat penting dalam rapat politik dan proses pengadilan.



KEUNTUNGAN PUBLIC SPEAKING

Mengembangkan Kepribadian
Bila kita dapat melakukan public speaking, kita tidak perlu lagi merasa takut setiap kali ada waktu untuk diminta berbicara di depan khalayak umum. Waktu-waktu seperti ini dapat terjadi baik di dunia kerja, ataupun di lingkungan keluarga. Selaun itu, kita juga dapat menyampaikan fikiran kita kepada orang lain dengan cara yang lebih efektif dan meyakinkan. Hal ini dapat menjadi kepuasan tersendiri jika ide kita diterima atau diterapkan. Zaman sekarang, banyak perusahaan yang menginginkan pelamar kerja untuk membuat proposal program kerja yang akan dilakukan. Proposal ini kemudian harus dipresentasikan. Ide yang telah dituangkan dalam sebuah proposal akan terdengar menarik jika disampaikan dalam kemasan kata-kata dan teknik yang meyakinkan. Pelamar kerja yang dapat mempresentasikan idenya dengan baik akan mendapatkan peluang penerimaan kerja yang lebih besar dibanding yang tidak. Semakin banyak kita berlatih maka semakin baik kita mempresentasikan ide kita terhadap orang lain.

Mempengaruhi Lingkungan Sekitar
Perubahan yang terjadi di masyarakat sering kali berawal dari ide satu orang yang kemudian disampaikan kepada orang-orang lain. Bila kita memiliki keterampilan public speaking, maka kita akan lebih mudah dapat mempengaruhi orang-orang lain supaya menerima dan melaksanakan ide kita. Pelaksanaan ide-ide tersebut menghasilkan perubahan dalam kelompok masyarakat. Dalam jangkauan yang kecil perubahan tersebut dapat berupa ide mengganti sedotan plastik dengan sedotan baja. Dalam jangkauan yang lebih besar, perubahan dapat mempengaruhi dunia. Perubahan tersebut berawal dari sebuah ide yang ditularkan kepada satu komunitas, lalu menginspirasi komunitas-komunitas lain yang menganggap ide ini baik untuk mereka.

Meningkatkan Karier
Kemampuan mempengaruhi orang lain melalui berbicara dapat membuat kerja kita berlangsung lebih baik. Bahkan bila rekan kerja dan atasan melihat kita terampil berbicara di orang-orang lain, mereka akan melihat kita sebagai orang yang memiliki kredibilitas tinggi hingga kesempatan promosi lebih terbuka lebar.


SEJARAH PUBLIC SPEAKING

            Retorika berasal dari bahasa Inggris “rhetoric” dan bersumber dari sebuah kata Latin “rhetorica” yang artinya adalah ilmu bicara. Retorika sebagai suatu ilmu memiliki sifat-sifat rasional, empiris, umum dan akumulatif. Sifat rasional berarti semua hal yang disampaikan oleh seorang pembicara harus tersusun secara sistematis dan logis. Sedangkan empiris artinya tersedianya fakta-fakta yang dapat dibuktikan oleh panca indra. Umum berarti fakta yang disampaikan tidak bersifat rahasia dan tidak dirahasiakan karena memiliki nilai sosial. Kumulatif adalah bentuk yang berkembang dari ilmu yang sudah ada sebelumnya, yaitu penggunaan bahasa secara lisan maupun tulisan.
Retorika dijadikan sebagai ilmu yang dapat dipelajari sejak abad 5 sebelum masehi (SM) persisnya ketika suatu kaum yang dijuluki ‘Kaum sofis’ di Yunani mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk memberikan pengajaran mengenai pengetahuan politik dan pemerintahan dengan hal yang lebih spesifik, terutama pada kemampuan melakukan pidato. Pemerintah perlu banyak usaha tanpa henti dalam rangka membujuk rakyat demi kemenangan ketika pemilihan. Dari sini berkembanglah seni pidato yang membenarkan dan memutarbalikkan kenyataan hanya demi tercapainya sebuah tujuan. Khalayak bisa tertarik dan terbujuk. Retorika dipelajari dan diterapkan di negara-negara yang menganut demokrasi langsung, contohnya yakni Yunani dan Romawi.
Tokoh retorika pada masa Yunani kuno saat itu adalah Gorgias (485-380 SM). Ia merupakan seorang sofis dan ahli retorika yang hidup sebelum era Socarates. Gorgias dapat dikatakan sebagai salah public speaker profesional dan “mainstream” pertama dalam sejarah. Gorgias menyatakan bahwa retorika memiliki kekuatan sebagai alat yang efektif untuk membujuk. Ia mengatakan bahwa retorika membuat orang mampu menjadi persuasif dengan kata-kata para hakim-hakim di pengadilan dan senator-senator yang berkepentingan. Sayangnya, hal tersebut yang dikritik oleh Plato. Plato menilai retorika seperti yang diajarkan oleh Gorgias hanya untuk menampilkan pidato-pidato persuasif yang mementingkan kepentingan pribadi, bukan didasarkan pada keadilan. Retorika seperti ini berbahaya bila terus menerus dipraktekkan, apalagi diajarkan pada generasi muda, karena dapat membentuk masyarakat yang tidak adil. 
    Solusi Plato bagi kritik yang ia nyatakan terhadap retorika sofistik terdapat dalam dialognya yang berjudul Phaedrus. Phaedrus memuat gagasan Plato tentang seni persuasi sejati dalam berpidato. Menurutnya, seni persuasi yang benar bertujuan untuk mencapai tatanan masyarakat yang lebih baik. Seorang peretorika harus mengenal jiwa manusia, mempelajari ragam karakter manusia, dan menyadari kekuatan di balik penggunaan kata-kata. Dalam Phaedrus, Plato mengusulkan bahwa inti dari sebuah seni retorika yang sejati adalah kemampuan untuk menyesuaikan argumen dengan tipe kepribadian manusia yang berbeda-beda. Plato menyatakan bahwa seorang pembicara harus menemukan jenis pidato yang sesuai dengan masing-masing tipe kepribadian manusia. Beberapa ahli mencatat bahwa Plato dan Socrates mengkaitkan antara kekuatan berargumen dengan menggunakan kata-kata (logoi) dengan pengetahuan tentang psikologi manusia. 
    Berikutnya ada Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai kontributor terbesar dalam perkembangan retorika di dunia Barat. Tulisan Aristotles Retorika dibagi menjadi tiga buku. Buku pertama menjelaskan retorika, menetapkan ruang lingkup retorika, serta membagi retorika menjadi tiga jenis oratori (pidato). Buku kedua membahas tentang strategi-strategi retoris yang terdiri dari karakter dan emosi. Buku ketiga berbicara tentang gaya berbicara dan pengaturan argumen dan kata-kata. 
    Menurut definisi Aristoteles, “retorika adalah kemampuan untuk mempraktekkan, pada berbagai kondisi, cara-cara persuasi yang tersedia”. Dengan mengemukakan definisi ini, Aristoteles mengubah posisi retorika; dari hanya sebuah praktek berpidato atau berorasi menjadi sebuah proses yang kreatif. Dalam buku pertamanya, Aristoteles menyatakan bahwa ada tiga elemen teknis yang merupakan inti dari ilmu retorika. Elemen-elemen tersebut terdiri dari:

·         penalaran logis (logos)
·         penggugah emosi atau perasaan manusia (pathos)
·         karakter dan kebaikan manusia (ethos)

 Selain itu, ia juga menyebutkan beberapa elemen non teknis seperti dokumen atau kesaksian. Elemen non-teknis ini dianggapnya berguna dalam berargumen namun bukan bagian dari pembelajaran retorika. 
    Logos juga dapat diartikan sebagai makna dari gagasan yang terdapat dalam kata-kata, percakapan, argumen atau kasus. Logos juga dapat berarti akal budi atau rasionalitas. Pada dasarnya, manusia dibedakan dari makhluk lainnya karena memiliki logos. Logos yang terkait erat dengan proses penalaran dan membuat kesimpulan, sangat erat terkait dengan logika. Namun yang lebih esensial bagi Aristoteles bukanlah aspek teknis dari logika. Inti retorika adalah cara orang bernalar dan cara pengambilan keputusan tentang persoalan-persoalan publik yang penting. Logos adalah pembelajaran tentang argumen-argumen yang dikemukakan sebagai hasil dari proses penalaran yang biasa dilakukan orang dalam praktik pengambilan keputusan. 
    Selanjutnya Aristoteles mendefinisikan pathos sebagai “meletakkan audiens dalam kerangka pemikiran yang tepat”. Konsep Aristoteles tentang pathos sebagai aspek emosional dari sebuah pidato. Ia berpendapat bahwa emosi seseorang memiliki pengaruh besar terhadap kemampuannya untuk memberikan sebuah penilaian. Menurutnya, seorang pembicara yang memiliki pengetahuan luas dapat dengan mudah mempengaruhi perasaan dan keyakinan dalam penilaian audiens. Dengan demikian, hal ini dapat menggerakkan mereka untuk meyakini apa yang disampaikan pembicara. Ia juga menekankan pentingnya seorang pembicara untuk memiliki penilaian yang benar secara moral, bukan semata-mata keinginan pragmatis untuk memenangkan sebuah argumentasi. Jadi pembelajaran tentang pathos adalah pembelajaran tentang psikologi emosi dan didukung oleh beban moral untuk menemukan dan menyampaikan kebenaran serta melakukan yang benar. 
    Berikutnya dalam Retorika, Aristoteles berbicara mengenai karakter dan kredibilitas seorang pembicara. Menurutnya, kedua hal ini harus timbul dari seorang pembicara pada saat ia menyampaikan pidatonya. Aristoteles membagi karakter menjadi tiga bagian. Untuk mencapai ethos, seorang pembicara harus memiliki:

1) kepandaian, nalar yang baik (phronesis)
2) integritas atau moralitas (arete)
3) niat baik (eunoia).

Seorang peretorika yang terlatih harus mengerti karakter bagaimana yang diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang menjadi audiensnya. Bila pathos adalah psikologi mengenai emosi manusia, maka ethos dapat dikatakan sebagai sosiologi mengenai karakter manusia. Aristotles menganggap ethos sebagai aspek terpenting dari ketiga elemen yang ia ajukan karena ethos memiliki potensi persuasif yangtinggi. Bila audiens yakin bahwa seorang pembicara menguasai apa yang ia bicarakan dan memiliki niat yang baik untuk audiensnya, maka ia akan diterima dan dipercaya oleh audiensnya. 
    Selain ketiga elemen di atas, Aristoteles juga membahas pembawaan, gaya bicara dan penyusunan pidato dalam bukunya. Pembawaan pidato, menurutnya penting karena berkaitan dengan bagaimana audiens menerima apa yang dikatakan oleh pembicara. Ia berpendapat bahwa kemampuan berdramatika adalah bakat seseorang sehingga pembawaan yang efektif sulit diajarkan. Hal terpenting adalah diksi (pemilihan kata-kata) yang tepat. Gaya berbicara atau gaya berbahasa harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. Hal yang terpenting adalah kejelasan. Kejelasan dapat dicapai apabila kata-kata yang digunakan sesuai dengan perkembangan jaman dan dapat dimengerti orang awam. Seorang pembicara harus mampu berbicara menggunakan bahasa tutur yang dikenal dalam pembicaraan sehari-hari. Dalam bahasa Aristoteles, “bahasa yang persuasif adalah yang natural”.