PENGERTIAN
PUBLIC SPEAKING
Sejak kecil, manusia selalu berbicara. Berbicara merupakan salah
satu bakat alami anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diturunkan langsung kepada
manusia. Bakat ini adalah satu alat yang dapat digunakan untuk berkomunikasi
dengan orang lain. Dalam kegiatan komunikasi, manusia tentu akan menyampaikan
pesan dengan tujuan yang berbeda-beda. Orang tua berbicara dengan anaknya untuk
menyampaikan pesan-pesan penting yang dapat membangun kepribadian anaknya.
Seorang manajer berbicara kepada bawahannya untuk melakukan pekerjaan yang
menguntungkan bagi perusahaan. Contoh-contoh tersebut merupakan kegiatan
berbicara yang dilakukan satu orang ke satu orang yang lain. Namun, apa istilah
yang digunakan jika seseorang berbicara kepada khalayak ramai?
Public speaking adalah kemampuan berbicara kepada banyak orang.
Kemampuan ini meliputi pesan yang disampaikan, cara menyampaikannya, dan
kata-kata yang meyakinkan. Pentingnya public speaking dalam kehidupan dapat
dilihat oleh tindakan-tindakan masyarakat dan pola pikir masyarakat yang dapat
berubah hanya dengan pesan yang disampaikan dengan sangat baik. Menurut
Webster’s Third International Dictionary, public speaking merupakan Sebuah
proses penyampaian pidato di hadapan publik. Public Speaking adalah Sebuah seni
dari ilmu komunikasi lisan yang secara efektif yang melibatkan para audiens
atau pendengar.
Sedangkan menurut Wiliam Noorwood Brigance, public speaking adalah
sebuah persuasi yang mencakup empat unsur; rebut perhatian pendengar, usahakan
pendengar dapat mempercayai kemampuan dan karakter yang dimiliki dan kembangkan
setiap gagasan materi sesuai dengan persepsi pendengar.
Lain halnya pernyataan yang diberikan oleh Ys. Gunadi dalam Himpunan
Istilah Komunikasi. Menurutnya, public
speaking adalah bentuk komunikasi yang dilakukan secara lisan tentang
suatu hal atau topik di hadapan banyak orang. Tujuannya adalah untuk
mempengaruhi, mengubah opini, mengajar, mendidik, memberikan penjelasan
serta memberikan informasi kepada masyarakat tertentu pada suatu tempat
tertentu.
Dalam melakukan public speaking, seseorang perlu memiliki rasa
percaya diri. Walaupun tidak mudah dalam membangun rasa percaya diri tersebut,
namun hal ini dapat dilatih dengan cara melakukannya dengan intensitas yang
sangat sering.
Pentingnya public speaking tidak
baru sekarang terbukti, tetapi sudah teruji sejak zaman dahulu. Contohnya pada
zaman Yunani dan Romawi kuno, keterampilan ini sudah digunakan untuk
kepentingan demokrasi. Keterampilan public speaking diajarkan di banyak sekolah
dan institusi pendidikan karena hal ini sangat penting dalam rapat politik dan
proses pengadilan.
KEUNTUNGAN
PUBLIC SPEAKING
Mengembangkan Kepribadian
Bila kita dapat
melakukan public speaking, kita tidak perlu lagi merasa takut setiap kali ada
waktu untuk diminta berbicara di depan khalayak umum. Waktu-waktu seperti ini
dapat terjadi baik di dunia kerja, ataupun di lingkungan keluarga. Selaun itu,
kita juga dapat menyampaikan fikiran kita kepada orang lain dengan cara yang lebih
efektif dan meyakinkan. Hal ini dapat menjadi kepuasan tersendiri jika ide kita
diterima atau diterapkan. Zaman sekarang, banyak perusahaan yang menginginkan pelamar
kerja untuk membuat proposal program kerja yang akan dilakukan. Proposal ini
kemudian harus dipresentasikan. Ide yang telah dituangkan dalam sebuah proposal
akan terdengar menarik jika disampaikan dalam kemasan kata-kata dan teknik yang
meyakinkan. Pelamar kerja yang dapat mempresentasikan idenya dengan baik akan
mendapatkan peluang penerimaan kerja yang lebih besar dibanding yang tidak.
Semakin banyak kita berlatih maka semakin baik kita mempresentasikan ide kita
terhadap orang lain.
Mempengaruhi Lingkungan Sekitar
Perubahan yang
terjadi di masyarakat sering kali berawal dari ide satu orang yang kemudian
disampaikan kepada orang-orang lain. Bila kita memiliki keterampilan public
speaking, maka kita akan lebih mudah dapat mempengaruhi orang-orang lain supaya
menerima dan melaksanakan ide kita. Pelaksanaan ide-ide tersebut menghasilkan
perubahan dalam kelompok masyarakat. Dalam jangkauan yang kecil perubahan
tersebut dapat berupa ide mengganti sedotan plastik dengan sedotan baja. Dalam
jangkauan yang lebih besar, perubahan dapat mempengaruhi dunia. Perubahan
tersebut berawal dari sebuah ide yang ditularkan kepada satu komunitas, lalu
menginspirasi komunitas-komunitas lain yang menganggap ide ini baik untuk
mereka.
Meningkatkan Karier
Kemampuan
mempengaruhi orang lain melalui berbicara dapat membuat kerja kita berlangsung
lebih baik. Bahkan bila rekan kerja dan atasan melihat kita terampil berbicara
di orang-orang lain, mereka akan melihat kita sebagai orang yang memiliki
kredibilitas tinggi hingga kesempatan promosi lebih terbuka lebar.
SEJARAH PUBLIC
SPEAKING
Retorika berasal dari bahasa Inggris
“rhetoric” dan bersumber dari sebuah kata Latin “rhetorica” yang artinya adalah
ilmu bicara. Retorika sebagai suatu ilmu memiliki sifat-sifat rasional, empiris,
umum dan akumulatif. Sifat rasional berarti semua hal yang disampaikan oleh
seorang pembicara harus tersusun secara sistematis dan logis. Sedangkan empiris
artinya tersedianya fakta-fakta yang dapat dibuktikan oleh panca indra. Umum
berarti fakta yang disampaikan tidak bersifat rahasia dan tidak dirahasiakan
karena memiliki nilai sosial. Kumulatif adalah bentuk yang berkembang dari ilmu
yang sudah ada sebelumnya, yaitu penggunaan bahasa secara lisan maupun tulisan.
Retorika dijadikan sebagai ilmu yang dapat dipelajari sejak abad 5 sebelum
masehi (SM) persisnya ketika suatu kaum yang dijuluki ‘Kaum sofis’ di Yunani mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk memberikan
pengajaran mengenai pengetahuan politik dan pemerintahan dengan hal yang lebih
spesifik, terutama pada kemampuan melakukan pidato. Pemerintah perlu banyak
usaha tanpa henti dalam rangka membujuk rakyat demi kemenangan ketika pemilihan.
Dari sini berkembanglah seni pidato yang membenarkan dan memutarbalikkan
kenyataan hanya demi tercapainya sebuah tujuan. Khalayak bisa tertarik dan
terbujuk. Retorika dipelajari dan diterapkan di negara-negara yang menganut
demokrasi langsung, contohnya yakni Yunani dan Romawi.
Tokoh retorika pada masa Yunani kuno saat itu adalah Gorgias
(485-380 SM). Ia merupakan seorang sofis dan ahli retorika yang hidup sebelum
era Socarates. Gorgias dapat dikatakan sebagai salah public speaker profesional
dan “mainstream” pertama dalam sejarah. Gorgias menyatakan bahwa retorika memiliki
kekuatan sebagai alat yang efektif untuk membujuk. Ia mengatakan bahwa retorika
membuat orang mampu menjadi persuasif dengan kata-kata para hakim-hakim di
pengadilan dan senator-senator yang berkepentingan. Sayangnya, hal tersebut
yang dikritik oleh Plato. Plato menilai retorika seperti yang diajarkan oleh
Gorgias hanya untuk menampilkan pidato-pidato persuasif yang mementingkan
kepentingan pribadi, bukan didasarkan pada keadilan. Retorika seperti ini
berbahaya bila terus menerus dipraktekkan, apalagi diajarkan pada generasi
muda, karena dapat membentuk masyarakat yang tidak adil.
Solusi Plato bagi kritik yang ia nyatakan terhadap
retorika sofistik terdapat dalam dialognya yang berjudul Phaedrus. Phaedrus
memuat gagasan Plato tentang seni persuasi sejati dalam berpidato. Menurutnya,
seni persuasi yang benar bertujuan untuk mencapai tatanan masyarakat yang lebih
baik. Seorang peretorika harus mengenal jiwa manusia, mempelajari ragam
karakter manusia, dan menyadari kekuatan di balik penggunaan kata-kata. Dalam
Phaedrus, Plato mengusulkan bahwa inti dari sebuah seni retorika yang sejati
adalah kemampuan untuk menyesuaikan argumen dengan tipe kepribadian manusia
yang berbeda-beda. Plato menyatakan bahwa seorang pembicara harus menemukan
jenis pidato yang sesuai dengan masing-masing tipe kepribadian manusia.
Beberapa ahli mencatat bahwa Plato dan Socrates mengkaitkan antara kekuatan
berargumen dengan menggunakan kata-kata (logoi) dengan pengetahuan tentang
psikologi manusia.
Berikutnya ada Aristoteles yang dapat dikatakan
sebagai kontributor terbesar dalam perkembangan retorika di dunia Barat.
Tulisan Aristotles Retorika dibagi menjadi tiga buku. Buku pertama menjelaskan
retorika, menetapkan ruang lingkup retorika, serta membagi retorika menjadi
tiga jenis oratori (pidato). Buku kedua membahas tentang strategi-strategi
retoris yang terdiri dari karakter dan emosi. Buku ketiga berbicara tentang
gaya berbicara dan pengaturan argumen dan kata-kata.
Menurut definisi Aristoteles, “retorika adalah kemampuan
untuk mempraktekkan, pada berbagai kondisi, cara-cara persuasi yang tersedia”.
Dengan mengemukakan definisi ini, Aristoteles mengubah posisi retorika; dari
hanya sebuah praktek berpidato atau berorasi menjadi sebuah proses yang kreatif.
Dalam buku pertamanya, Aristoteles menyatakan bahwa ada tiga elemen teknis yang
merupakan inti dari ilmu retorika. Elemen-elemen tersebut terdiri dari:
·
penalaran logis (logos)
·
penggugah emosi atau perasaan
manusia (pathos)
·
karakter dan kebaikan manusia
(ethos)
Selain itu, ia juga
menyebutkan beberapa elemen non teknis seperti dokumen atau kesaksian. Elemen
non-teknis ini dianggapnya berguna dalam berargumen namun bukan bagian dari
pembelajaran retorika.
Logos juga dapat diartikan sebagai makna dari gagasan
yang terdapat dalam kata-kata, percakapan, argumen atau kasus. Logos juga dapat
berarti akal budi atau rasionalitas. Pada dasarnya, manusia dibedakan dari
makhluk lainnya karena memiliki logos. Logos yang terkait erat dengan proses
penalaran dan membuat kesimpulan, sangat erat terkait dengan logika. Namun yang
lebih esensial bagi Aristoteles bukanlah aspek teknis dari logika. Inti
retorika adalah cara orang bernalar dan cara pengambilan keputusan tentang
persoalan-persoalan publik yang penting. Logos adalah pembelajaran tentang
argumen-argumen yang dikemukakan sebagai hasil dari proses penalaran yang biasa
dilakukan orang dalam praktik pengambilan keputusan.
Selanjutnya Aristoteles mendefinisikan pathos sebagai
“meletakkan audiens dalam kerangka pemikiran yang tepat”. Konsep Aristoteles
tentang pathos sebagai aspek emosional dari sebuah pidato. Ia berpendapat bahwa
emosi seseorang memiliki pengaruh besar terhadap kemampuannya untuk memberikan
sebuah penilaian. Menurutnya, seorang pembicara yang memiliki pengetahuan luas
dapat dengan mudah mempengaruhi perasaan dan keyakinan dalam penilaian audiens.
Dengan demikian, hal ini dapat menggerakkan mereka untuk meyakini apa yang
disampaikan pembicara. Ia juga menekankan pentingnya seorang pembicara untuk
memiliki penilaian yang benar secara moral, bukan semata-mata keinginan
pragmatis untuk memenangkan sebuah argumentasi. Jadi pembelajaran tentang
pathos adalah pembelajaran tentang psikologi emosi dan didukung oleh beban
moral untuk menemukan dan menyampaikan kebenaran serta melakukan yang
benar.
Berikutnya dalam Retorika, Aristoteles berbicara
mengenai karakter dan kredibilitas seorang pembicara. Menurutnya, kedua hal ini
harus timbul dari seorang pembicara pada saat ia menyampaikan pidatonya.
Aristoteles membagi karakter menjadi tiga bagian. Untuk mencapai ethos, seorang
pembicara harus memiliki:
1) kepandaian, nalar yang baik (phronesis)
2) integritas atau moralitas (arete)
3) niat baik (eunoia).
Seorang peretorika yang terlatih harus mengerti karakter bagaimana
yang diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang menjadi audiensnya. Bila
pathos adalah psikologi mengenai emosi manusia, maka ethos dapat dikatakan
sebagai sosiologi mengenai karakter manusia. Aristotles menganggap ethos
sebagai aspek terpenting dari ketiga elemen yang ia ajukan karena ethos
memiliki potensi persuasif yangtinggi. Bila audiens yakin bahwa seorang
pembicara menguasai apa yang ia bicarakan dan memiliki niat yang baik untuk
audiensnya, maka ia akan diterima dan dipercaya oleh audiensnya.
Selain ketiga elemen di atas, Aristoteles juga
membahas pembawaan, gaya bicara dan penyusunan pidato dalam bukunya. Pembawaan
pidato, menurutnya penting karena berkaitan dengan bagaimana audiens menerima
apa yang dikatakan oleh pembicara. Ia berpendapat bahwa kemampuan berdramatika
adalah bakat seseorang sehingga pembawaan yang efektif sulit diajarkan. Hal
terpenting adalah diksi (pemilihan kata-kata) yang tepat. Gaya berbicara atau
gaya berbahasa harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. Hal yang terpenting
adalah kejelasan. Kejelasan dapat dicapai apabila kata-kata yang digunakan
sesuai dengan perkembangan jaman dan dapat dimengerti orang awam. Seorang
pembicara harus mampu berbicara menggunakan bahasa tutur yang dikenal dalam
pembicaraan sehari-hari. Dalam bahasa Aristoteles, “bahasa yang persuasif
adalah yang natural”.